Mafia Leadership
Ada yang belum pernah nonton The Godfather? Kalau belum, sangat direkomendasikan untuk segera mencari DVD film keluaran tahun 1972 ini di Mangga Dua, Glodok atau di toko DVD bajakan kesayangan anda lainnya. Oh yah, cari yang sudah High Definition, jangan yang masih hitam putih atau bisu.
Saya sendiri baru saja menonton instalmen pertama dari trilogi film ini, dan sedikit menyesal kenapa baru sekarang menonton film sebagus ini. Sebagus itukah? Banget. Lebay.
The Godfather mengandung semua bahan baku yang diperlukan untuk menjadikannya sebagai salah satu tontonan yang tak lekang oleh waktu. Mario Puzo, sang penulis novel, berhasil menceritakan sisi lain dari kehidupan sebuah keluarga mafia Sisilia di New York. The Godfather berhasil menciptakan “blue ocean” nya di antara kerumunan film-film mafia dan gangster yang banyak diproduksi di masa itu.
Alur cerita yang beda ini juga direkonstruksikan dengan indah oleh sang sutradara, Francis Ford Coppolla. Dengan kejeniusannya, Francis Ford Coppolla sukses membuat film ini tetap abadi dan keren untuk ditonton, bahkan setelah lebih dari 30 tahun saat film ini dirilis pertama kali.
Akting yang ciamik dari para pemeran dalam film ini juga menjadi salah satu komponen vital kesuksesan film ini. Marlon Brando sampai-sampai diganjar dengan Piala Oscar sebagai aktor terbaik untuk perannya sebagai Don Vito Corleone, sang godfather yang dingin dan garang di hadapan lawan-lawan dan anak buahnya, tapi penuh kehangatan saat bersama istri, anak dan cucunya. So tweet.
Setelah menonton film ini, saya menemukan setidaknya ada dua seni kepemimpinan ala “mafia” yang mungkin cukup relevan untuk dijewantahkan oleh setiap orang-orang yang saat ini berakting sebagai pemimpin baik itu pemimpin di perusahaan terbuka, perusahaan tertutup, CV sampai koperasi.
Berikut adalah dua seni kepemimpinan ala “mafia” yang saya dapatkan dari film ini.
Prinsip #1 “I will offer you an offer that you cannot refuse”.
Kalimat ini paling sering dibunyikan sepanjang film. Godfather tidak mengenal kata tidak. Apa yang diinginkan, harus didapat. Dengan cara apapun, dari yang legal sampai yang (lebih sering) kriminal dilakukan. Diktator rasanya kata yang tidak lebih dan tidak kurang untuk mengambarkan sosok seperti apa godfather itu.
Selama ini, mungkin kita selalu melihat kediktaktoran sebagai sesuatu yang buruk. Tapi apakah benar sepenuhnya demikian? Hm, ternyata tidak juga. Kediktatoran bisa saja menjadi sesuatu yang baik dan bahkan diperlukan. Tidak percaya? Ambil contoh Lee Kuan Yew.
Setelah memisahkan diri dari Malaysia pada tahun 1965, Lee Kuan Yew menyadari dengan luas negara yang kecil, jumlah penduduk yang sedikit dan sumber daya alam yang miskin, Singapura akan sulit bersaing dengan negara lain.
Dalam situasi seperti itu, Lee Kuan Yew berpandangan bahwa satu-satunya keunggulan kompetitif dan komparatif Singapura harusnya ada dalam diri orang-orangnya. Lee Kuan Yew pun segera mengambil banyak kebijakan radikal yang bertujuan mendisiplinkan dan mengembangkan warganya (salah satu kebijakan yang dikeluhkan oleh seorang teman dari Singapura adalah larangan memakan permen karet). Berbagai pembatasan, peraturan dan pasal-pasal mulai diberlakukan. Bagi yang melanggar sudah menunggu berbagai denda dan hukuman.
Dari contoh ini, Lee Kuan Yew berperan seperti halnya seorang godfather yang ‘memaksakan’ sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh warganya. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, semuanya harus patuh. Pastinya banyak orang yang tidak suka dengan pengekangan seperti itu. Walaupun begitu, lambat laun mereka menyadari manfaat yang didapat dari peraturan-peraturan itu.
Sekarang, berkat kebijakan-kebijakan Lee Kuan Yew, Singapura berhasil menjadi negara yang sangat maju, bahkan dalam beberapa hal jauh meninggalkan negara jirannya.
Mungkin benar juga kutipan yang mengatakan kalau seorang pemimpin, harus siap menanggung resiko tidak disukai karena kebijakan tidak populer yang diambilnya, sekalipun kebijakan itu untuk kemaslahatan orang-orang yang dipimpinnya.
Ambil contoh, sekarang ini warga Jakarta sedang senang-senangnya mengkritik bapak gubenur karena dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan kronis di ibukota seperti kemacetan.
Tanpa bermaksud untuk mengajari “sang ahli”, saya berpikir untuk menyelesaikan masalah di Jakarta ini, tidak cukup lagi mengandalkan kebijakan seperti yang diajarkan di buku-buku textbook keluaran universitas di Jerman.
Jakarta membutuhkan kebijakan yang lebih radikal! Kebijakan yang mungkin (atau pasti) akan mendapatkan banyak tentangan dan cemoohan dari masyarakat (seperti menaikkan biaya parkir; saya sendiri tidak berpikir cara ini dapat mengatasi kemacetan di Jakarta selama transportasi umum masih buruk seperti sekarang), tapi dalam jangka panjang bisa menyelamatkan Jakarta dari kelumpuhan total.
Memang tidak mudah, butuh urat nyali yang besar untuk ‘memaksa’ orang lain untuk melakukan apa yang kita mau.
Prinsip #2 “It’s not personal, it’s strictly a business”.
Seperti mafia pada umumnya, roda bisnis Don Corleone pun digerakkan dari perjudian, prostitusi dan minuman keras. Tapi, berbeda dengan mafia lainnya, Don Corleone menghindari memasuki bisnis narkotika. Bukan karena alasan moral, tapi semata-mata karena pertimbangan bisnis.
Kenapa demikian? Bukankah bisnis narkotika adalah bisnis yang dapat mendatangkan kekayaan dan kekuasaan yang lebih besar untuk dirinya?
Alasannya sederhana. Don Corleone menyadari kalau para polisi dan hakim yang selama ini melindungi dirinya, akan menarik dukungannya kalau sudah berhubungan dengan narkotika. Demi menghindari potensi masalah di masa depan, Don Corleone pun menolak tawaran Sollozzo untuk bermitra dalam bisnis narkotika.
Pada waktu menjabat sebagai gubernur Jakarta, Ali Sadikin, dihadapkan dengan sejuta persoalan di ibukota. Kriminalitas yang tinggi, perekonomian yang lesu adalah beberapa diantaranya. Bang Ali, panggilan Ali Sadikin, juga tidak bisa berbuat banyak membenahi masalah di Jakarta mengingat pendapatan asli daerah waktu itu yang hanya 66 juta rupiah.
Pada waktu itu, Bang Ali mendapat kabar kalau banyak perjudian ilegal dilakukan di Jakarta. Kemudian timbul ide dari Bang Ali untukmenjadikan perjudian ini sebagai sesuatu yang legal sehingga pemda pun bisa diuntungkan dari retribusi perjudian ini. Dari dana ini, Jakarta pun bisa diubah menjadi kota yang lebih baik dari sebelumnya kota yang kumuh. Dengan cara ini pula, pemda dapat lebih mengontrol kegiatan perjudian di ibukota.
Sewaktu Bang Ali menjabat, di Jakarta juga baru saja didirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta oleh Adnan Buyung Nasution dan Majalah Tempo oleh Goenawan Mohammad (penulis favorit saya!). Bang Ali menjadi donatur untuk kedua lembaga ini.
Walaupun berstatus sebagai donatur, ternyata tidak membuat Bang Ali dan lembaga yang dimpimpinnya luput dari kritikan kedua lembaga ini. Walaupun dikritik terus menerus, Bang Ali tidak berhenti menjadi donatur. Kenapa begitu? Di sinilah terletak kejeniusan Bang Ali.
Bang Ali sadar kalau lembaga yang dipimpinnya rentan dengan berbagai bentuk penyelewengan. Untuk menjaga agar lembaganya tetap berada di rel yang benar, perlu ada pihak luar yang berperan sebagai “watchdog”.
Dengan adanya pengawasan dari pihak luar, Bang Ali justru diuntungkan karena dia tidak perlu menghabiskan bujet untuk mengawasi kegiatan operasional di lembaganya. Pemberitaan pers terbukti menjadi bentuk pengawasan yang efektif.
Dari kedua kasus di atas, Bang Ali sanggup mensegregasi antara hal personal dengan kepentingan ‘bisnis’. Secara personal, bisa saja Bang Ali menolak untuk melegalkan perjudian atau menjadi donatur lembaga yang ‘menjatuhkan’ dirinya. Tapi hal itu tidak dilakukan karena Bang Ali mengarahkan pandangannya pada hal yang lebih luas kepentingan pandangan pribadinya.
Suatu hal yang tidak mudah, tapi penting untuk dipelajari.
Tembagapura, 19 Oktober 2010.