Every life has a story…

Mafia Leadership

Ada yang belum pernah nonton The Godfather? Kalau belum, sangat direkomendasikan untuk segera mencari DVD film keluaran tahun 1972 ini di Mangga Dua, Glodok atau di toko DVD bajakan kesayangan anda lainnya. Oh yah, cari yang sudah High Definition, jangan yang masih hitam putih atau bisu.

Saya sendiri baru saja menonton instalmen pertama dari trilogi film ini, dan sedikit menyesal kenapa baru sekarang menonton film sebagus ini. Sebagus itukah? Banget. Lebay.

The Godfather mengandung semua bahan baku yang diperlukan untuk menjadikannya sebagai salah satu tontonan yang tak lekang oleh waktu. Mario Puzo, sang penulis novel, berhasil menceritakan sisi lain dari kehidupan sebuah keluarga mafia Sisilia di New York. The Godfather berhasil menciptakan “blue ocean” nya di antara kerumunan film-film mafia dan gangster yang banyak diproduksi di masa itu.

Alur cerita yang beda ini juga direkonstruksikan dengan indah oleh sang sutradara, Francis Ford Coppolla. Dengan kejeniusannya, Francis Ford Coppolla sukses membuat film ini tetap abadi dan keren untuk ditonton, bahkan setelah lebih dari 30 tahun saat film ini dirilis pertama kali.

Akting yang ciamik dari para pemeran dalam film ini juga menjadi salah satu komponen vital kesuksesan film ini. Marlon Brando sampai-sampai diganjar dengan Piala Oscar sebagai aktor terbaik untuk perannya sebagai Don Vito Corleone, sang godfather yang dingin dan garang di hadapan lawan-lawan dan anak buahnya, tapi penuh kehangatan saat bersama istri, anak dan cucunya. So tweet.

Setelah menonton film ini, saya menemukan setidaknya ada dua seni kepemimpinan ala “mafia” yang mungkin cukup relevan untuk dijewantahkan oleh setiap orang-orang yang saat ini berakting sebagai pemimpin baik itu pemimpin di perusahaan terbuka, perusahaan tertutup, CV sampai koperasi.

Berikut adalah dua seni kepemimpinan ala “mafia” yang saya dapatkan dari film ini.

Prinsip #1 “I will offer you an offer that you cannot refuse”.

Kalimat ini paling sering dibunyikan sepanjang film. Godfather tidak mengenal kata tidak. Apa yang diinginkan, harus didapat. Dengan cara apapun, dari yang legal sampai yang (lebih sering) kriminal dilakukan. Diktator rasanya kata yang tidak lebih dan tidak kurang untuk mengambarkan sosok seperti apa godfather itu.

Selama ini, mungkin kita selalu melihat kediktaktoran sebagai sesuatu yang buruk. Tapi apakah benar sepenuhnya demikian? Hm, ternyata tidak juga. Kediktatoran bisa saja menjadi sesuatu yang baik dan bahkan diperlukan. Tidak percaya? Ambil contoh Lee Kuan Yew.

Setelah memisahkan diri dari Malaysia pada tahun 1965, Lee Kuan Yew menyadari dengan luas negara yang kecil, jumlah penduduk yang sedikit dan sumber daya alam yang miskin, Singapura akan sulit bersaing dengan negara lain.

Dalam situasi seperti itu, Lee Kuan Yew berpandangan bahwa satu-satunya keunggulan kompetitif dan komparatif Singapura harusnya ada dalam diri orang-orangnya. Lee Kuan Yew pun segera mengambil banyak kebijakan radikal yang bertujuan mendisiplinkan dan mengembangkan warganya (salah satu kebijakan yang dikeluhkan oleh seorang teman dari Singapura adalah larangan memakan permen karet). Berbagai pembatasan, peraturan dan pasal-pasal mulai diberlakukan. Bagi yang melanggar sudah menunggu berbagai denda dan hukuman.

Dari contoh ini, Lee Kuan Yew berperan seperti halnya seorang godfather yang ‘memaksakan’ sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh warganya. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, semuanya harus patuh. Pastinya banyak orang yang tidak suka dengan pengekangan seperti itu. Walaupun begitu, lambat laun mereka menyadari manfaat yang didapat dari peraturan-peraturan itu.

Sekarang, berkat kebijakan-kebijakan Lee Kuan Yew, Singapura berhasil menjadi negara yang sangat maju, bahkan dalam beberapa hal jauh meninggalkan negara jirannya.

Mungkin benar juga kutipan yang mengatakan kalau seorang pemimpin, harus siap menanggung resiko tidak disukai karena kebijakan tidak populer yang diambilnya, sekalipun kebijakan itu untuk kemaslahatan orang-orang yang dipimpinnya.

Ambil contoh, sekarang ini warga Jakarta sedang senang-senangnya mengkritik bapak gubenur karena dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan kronis di ibukota seperti kemacetan.

Tanpa bermaksud untuk mengajari “sang ahli”, saya berpikir untuk menyelesaikan masalah di Jakarta ini, tidak cukup lagi mengandalkan kebijakan seperti yang diajarkan di buku-buku textbook keluaran universitas di Jerman.

Jakarta membutuhkan kebijakan yang lebih radikal! Kebijakan yang mungkin (atau pasti) akan mendapatkan banyak tentangan dan cemoohan dari masyarakat (seperti menaikkan biaya parkir; saya sendiri tidak berpikir cara ini dapat mengatasi kemacetan di Jakarta selama transportasi umum masih buruk seperti sekarang), tapi dalam jangka panjang bisa menyelamatkan Jakarta dari kelumpuhan total.

Memang tidak mudah, butuh urat nyali yang besar untuk ‘memaksa’ orang lain untuk melakukan apa yang kita mau.

Prinsip #2 “It’s not personal, it’s strictly a business”.

Seperti mafia pada umumnya, roda bisnis Don Corleone pun digerakkan dari perjudian, prostitusi dan minuman keras. Tapi, berbeda dengan mafia lainnya, Don Corleone menghindari memasuki bisnis narkotika. Bukan karena alasan moral, tapi semata-mata karena pertimbangan bisnis.

Kenapa demikian? Bukankah bisnis narkotika adalah bisnis yang dapat mendatangkan kekayaan dan kekuasaan yang lebih besar untuk dirinya?

Alasannya sederhana. Don Corleone menyadari kalau para polisi dan hakim yang selama ini melindungi dirinya, akan menarik dukungannya kalau sudah berhubungan dengan narkotika. Demi menghindari potensi masalah di masa depan, Don Corleone pun menolak tawaran Sollozzo untuk bermitra dalam bisnis narkotika.

Pada waktu menjabat sebagai gubernur Jakarta, Ali Sadikin, dihadapkan dengan sejuta persoalan di ibukota. Kriminalitas yang tinggi, perekonomian yang lesu adalah beberapa diantaranya. Bang Ali, panggilan Ali Sadikin, juga tidak bisa berbuat banyak membenahi masalah di Jakarta mengingat pendapatan asli daerah waktu itu yang hanya 66 juta rupiah.

Pada waktu itu, Bang Ali mendapat kabar kalau banyak perjudian ilegal dilakukan di Jakarta. Kemudian timbul ide dari Bang Ali untukmenjadikan perjudian ini sebagai sesuatu yang legal sehingga pemda pun bisa diuntungkan dari retribusi perjudian ini. Dari dana ini, Jakarta pun bisa diubah menjadi kota yang lebih baik dari sebelumnya kota yang kumuh. Dengan cara ini pula, pemda dapat lebih mengontrol kegiatan perjudian di ibukota.

Sewaktu Bang Ali menjabat, di Jakarta juga baru saja didirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta oleh Adnan Buyung Nasution dan Majalah Tempo oleh Goenawan Mohammad (penulis favorit saya!). Bang Ali menjadi donatur untuk kedua lembaga ini.

Walaupun berstatus sebagai donatur, ternyata tidak membuat Bang Ali dan lembaga yang dimpimpinnya luput dari kritikan kedua lembaga ini. Walaupun dikritik terus menerus, Bang Ali tidak berhenti menjadi donatur. Kenapa begitu? Di sinilah terletak kejeniusan Bang Ali.

Bang Ali sadar kalau lembaga yang dipimpinnya rentan dengan berbagai bentuk penyelewengan. Untuk menjaga agar lembaganya tetap berada di rel yang benar, perlu ada pihak luar yang berperan sebagai “watchdog”.

Dengan adanya pengawasan dari pihak luar, Bang Ali justru diuntungkan karena dia tidak perlu menghabiskan bujet untuk mengawasi kegiatan operasional di lembaganya. Pemberitaan pers terbukti menjadi bentuk pengawasan yang efektif.

Dari kedua kasus di atas, Bang Ali sanggup mensegregasi antara hal personal dengan kepentingan ‘bisnis’. Secara personal, bisa saja Bang Ali menolak untuk melegalkan perjudian atau menjadi donatur lembaga yang ‘menjatuhkan’ dirinya. Tapi hal itu tidak dilakukan karena Bang Ali mengarahkan pandangannya pada hal yang lebih luas kepentingan pandangan pribadinya.

Suatu hal yang tidak mudah, tapi penting untuk dipelajari.

Tembagapura, 19 Oktober 2010.

Just in Time

When I was in my sophomore year, my dad got stroke after he fell in the bathroom. Since then, he had to be hospitalized and was unable to work again. This has caused our family to struggle with the financial difficulties. We had to sell our car to pay the medical treatment cost.  And, my sister who just graduated from high school had to postpone her study to university.

Of course, we were very worried at that time, but we believed that God has the power to solve our problems and to do the impossible. And, we found that our faith in Him was not useless. He had showed us His guidance and blessings at those difficult times.

After being in a coma for several days, my dad had recovered and several weeks later, he could go home. Today, my dad’s health has been improved much better since that time. He can speak and walk although he does it at a slow tempo. Praise the Lord!

Another God’s blessing that I had experienced, at that time, was when I got a scholarship while on campus. I believed that it’s only because of His blessing that I could get the scholarship. There were several things that made me sure that it’s a ‘miracle’ from God:

First, the scholarship was applicable only for a sophomore student (which fitted to my profile). Second, the scholarship had just been reactivated in that year (after several vacuum years). Third, it covered the tuition fee for the next four semesters. Fourth, I remembered that after the interview, I said to my mom that I was confident to win the scholarship (even though I realized that the competition to win the scholarship was quite though; the scholarship was only rewarded to 3 recipients from three faculties, so one recipient for each faculty). Fifth, I’d already known the company profile who gave the scholarship since I was in high school from the magazine that I used to read (I thought it had become a plus point in my interview).

From this experience (and many other experiences), let us remember that we have someone to rely on with all our problems – someone who has unlimited power and unlimited love for us. We can cast all our cares upon the Lord, and He will take care of us. Remember to go to Him the next time we are feeling unhappy, lonely, or depressed. Be blessed! 🙂

Note: btw, today I work for the company who had given me the scholarship. 🙂

LV

Salah satu rutinitas baru yang bertambah sejak saya bekerja di perusahaan tambang adalah aktivitas mencuci LV (Light Vehicle) setiap sore sepulangnya dari area tambang. Kondisi tambang yang berdebu dan berlumpur membuat ‘si putih’ harus rutin dimandikan (hampir semua mobil operasional di sini berwarna putih).

 

Hal ini sudah menjadi bagian dari peraturan perusahaan untuk setiap pemakai mobil perusahaan wajib merawat dan menjaga kebersihan mobil sehabis digunakan. Kadang kami tergoda juga untuk melewatkan ‘ritual’ mencuci mobil ini, biasanya karena masih ada pekerjaan yang harus kami kerjakan di kantor. Atau lebih sering lagi karena malas! Karena melihat mobil yang tidak terlalu kotor, kami berpikir tidak masalah untuk sesekali melewatkan ‘ritual’ ini.

 

Sekali dua kali kami melewatkan ‘ritual’ ini, kami merasa tidak ada masalah. Namun, setelah beberapa lama, kami baru menyadari ternyata kemalasan kami berdampak pada berubahnya warna ’si putih’. ’Si putih’ pelan-pelan berubah warnanya jadi agak kekuning-kuningan. Selain itu, mulai muncul karat-karat dan kotoran yang sulit untuk dibersihkan. Memang debu dan kotoran dari tambang lebih ’jahat’ karena mengandung logam. Akumulasi dari kotoran-kotoran yang tidak dibersihkan ini telah pelan-pelan merusak mobil kami (Eh mobil perusahaan maksudnya…Hahaha).

 

Kita mungkin bisa menganalogikan kebiasaan mencuci mobil ini dengan perawatan ’mesin’ rohani kita, khususnya dalam hal inspeksi kesehatan rohani diri kita. Seperti halnya mobil, kehidupan rohani kita pun perlu mendapatkan perawatan, perlu untuk ’dirawat’ dan ’dibersihkan’ dari noda-noda dan ’kotoran-kotoran’. Namun terkadang, kalau mau jujur, kita pun sering malas untuk melakukan hal ini. Kita sering malas untuk berdoa, membaca Alkitab dan datang beribadah.

 

Kita merasa tidak akan jadi masalah kalau satu dua hari melewatkan waktu saat teduh kita. Kita merasa baik-baik saja tidak datang kebaktian satu atau dua minggu. Seperti performa mobil yang mulai tidak beres, kita baru menyadari adanya yang tidak beres dengan ’mesin’ rohani kita saat masalah-masalah mulai muncul.

 

Salah satu tokoh besar dalam Alkitab yag menganggap penting akan interopeksi diri adalah Raja Daud. Raja Daud memohon kepada Tuhan untuk menguji dirinya, untuk menyelidiki batin dan hatinya, untuk mengenal pikiran-pikirannya (Mzm 26:2, 139:23-24). Kenapa Raja Daud berani berkata seperti itu? Karena selama ini Raja Daud telah rajin menginteropeksi dirinya sehingga dia bisa yakin kalau dirinya sudah hidup benar dan berkenan di hadapan Tuhan.

 

Pada waktu mencuci mobil, kami sering hanya berfokus untuk membersihkan bagian-bagian mobil yang terlihat dan mudah untuk dibersihkan. Bagian yang sulit dibersihkan dan dijangkau seperti kolong mobil biasanya jarang diberi perhatian. Akibatnya bisa ditebak. Kotoran-kotoran yang tidak terlihat ini  jadi mengendap dengan tebalnya dan semakin sulit untuk dibersihkan, yang akhirnya mengganggu performa kendaraan.

 

Untuk bisa menginteropeksi diri sendiri, bukanlah suatu hal yang mudah. Butuh suatu kerendahan hati untuk mengakuinya dan komitmen untuk berubah. Dan seringkali ada ’blind spot’ yang menghalangi diri kita untuk menilai secara objektif kondisi diri kita. ’Blind spot’ ini bisa karena dosa yang sudah melekat terlalu lama sehingga tidak dilihat sebagai dosa lagi. Bisa juga karena ego dan kesombongan kita.

 

Ingat doa orang Farisi dan pemungut cukai? Orang Farisi dalam doanya membanggakan semua aktivitas rohani yang telah dilakukannya, sedangkan si pemungut cukai berdoa dengan tidak berani membenarkan diri, hanya menangis dan memukul diri. Dan kita siapa yang akhirnya dibenarkan di antara kedua orang itu. Orang Farisi ini tidak bisa melihat dengan jelas kondisi rohaninya. Ada ’blind spot’ yang telah membutakan ’mata rohani’ nya.

 

Tuhan Yesus sendiri pernah menegur dengan keras orang-orang Farisi karena perilaku munafik mereka. Mereka disamakan dengan sebuah kuburan yang dari tampak luar berwarna putih bersih tapi sesungguhnya di dalamnya penuh dengan tulang belulang dan kebusukan. Jangan sampai kita pun ditegur karena hal ini! Jangan sampai kita hanya ahli dalam melihat selumbar di mata saudara kita tapi tidak mampu melihat balok di mata kita sendiri.

 

Sesungguhnya Tuhan sudah menyediakan ’alat’ untuk kita bisa memeriksa ’mesin’ rohani kita yaitu Firman-Nya. Alkitab dapat mengajarkan kepada kita jalan yang benar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik kita dalam kebenaran (2 Tim 3:16). Sekarang tinggal apakah kita mau menggunakannya atau tidak. Apakah kita mau mengalahkan rasa malas kita untuk mulai membangun suatu disiplin rohani seperti meluangkan waktu setiap hari untuk saat teduh, berdoa, dsb. Sehingga kita dapat seperti Raja Daud dengan yakin berkata, ”Ujilah aku, ya TUHAN”.

 

 

 

The Secret Millionaire

Beberapa hari yang lalu, saat sedang nge-gym, saya sempat menonton tayangan reality show di BBC Knowledge. Nama acara yang saya tonton waktu itu adalah ’The Secret Millionaire’. Konsep acara ini mirip dengan acara ’reality show’ (saya tidak yakin ada acara televisi yang tanpa rekayasa, biar pun sudah ada label ’reality show-’nya) di salah satu statiun tv nasional (nama acaranya ’Tangan di Atas’ atau apa saya tidak terlalu ingat).

 

Kedua acara ini sama-sama menceritakan tentang seseorang yang berusaha untuk memberikan sesuatu kepada orang lain. Bedanya kalau di ’The Secret Millionaire’, subjek pelakunya adalah seorang jutawan yang menyamar menjadi orang biasa (bahkan dibuat terkesan lusuh dan kumal) untuk mencari orang untuk ditolongnya.

 

Pada episode yang saya tonton, jutawan yang menyamar adalah Hillary Devey. Dalam acara ini, Hillary akan menyamar selama 10 hari sebagai seorang pendatang yang sedang mencari pekerjaan di sebuah kota kecil.

 

Pencarian Hillary untuk mendapatkan pekerjaan dan menemukan orang untuk ditolongnya ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam tayangan ini, digambarkan bagaimana Hillary beberapa kali mendapatkan penolakan pada saat melamar pekerjaan di tempat yang didatanginya.

 

Setelah berkeliling kota selama beberapa hari, Hillary akhirnya bertemu dengan Sheila. Sheila adalah pendiri dan pemilik suatu yayasan yang berfokus untuk melayani para manula. Yayasan milik Sheila rutin mengadakan berbagai kegiatan seperti acara makan siang bersama dengan gratis. Walaupun pernah terkena stroke sebanyak dua kali, hal tersebut tidak menghalangi Sheila untuk dengan tekun mengelola lembaga ini dengan mengandalkan dana sumbangan dari para donator.

 

Hillary pun kemudian diterima untuk bekerja di yayasan ini. Hillary menggunakan kesempatan ini untuk lebih mengenal pribadi Sheila sekaligus memastikan apakah semua cerita yang disampaikan Sheila adalah benar adanya. Hillary harus benar-benar merasa yakin kalau orang yang ditolongnya betul-betul memerlukan pertolongannya. Hillary mengaku dirinya sudah beberapa kali ditipu oleh orang yang pura-pura miskin dan susah demi mendapatkan uangnya.

 

Selain berkenalan dengan Sheila, Hillary pun sempat berkenalan dengan Carol. Carol adalah penggagas proyek musik untuk remaja. Carol memfasilitasi para remaja yang memiliki minat di bidang musik untuk mengerjakan proyek musik mereka. Kota tempat Sheila dan Carol tinggal adalah kota dengan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Banyak anak dan remaja yang kemudian tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka. Keberadaan lembaga seperti milik Carol ini sangat diperlukan untuk membantu menyediakan alternatif kegiatan positif bagi anak-anak di kota itu.

 

Perlu diingat sampai dengan titik ini, baik Sheila maupun Carol sama-sama tidak mengetahui identitas asli dari Hillary. Yang mereka tahu, Hillary hanyalah seorang wanita setengah baya yang datang ke kota mereka untuk mencari pekerjaan.

 

Setelah lewat 10 hari bekerja di kedua lembaga itu, akhirnya Hillary membuka identitas aslinya kepada Sheila dan Carol. Mereka berdua sungguh terkejut saat melihat Hillary datang menemui mereka dengan penampilan yang sangat mewah. Mereka makin terkejut lagi ketika mengetahui bahwa orang yang mereka perkerjakan ternyata adalah salah seorang pengusaha perempuan tersukses di Inggris. Mereka juga sangat terharu ketika Hillary mendonasikan uangnya sampai puluhan ribu pound yang akan digunakan untuk menunjang kegiatan operasional lembaga yang mereka asuh.

 

Coba bayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang tadinya telah menolak memberikan pekerjaan kepada Hillary. Mereka pasti merasa menyesal karena tidak bersikap ramah kepada Hillary.

 

Memang tidak bisa dibohongin, kalau sikap kita dalam berinteraksi dengan orang lain seringkali ada sifat bunglonnya. Maksudnya, tingkat keramahan kita kepada seseorang biasanya akan berbanding lurus dengan tinggi rendahnya atribut yang melekat pada orang itu.

 

Contohnya, terhadap teman kita yang ”biasa-biasa” saja, kita bersikap juga ”biasa-biasa” saja. Tapi terhadap teman atau orang yang kita tahu memiliki banyak kelebihan (bisa lebih harta, lebih pintar, lebih menarik), sikap kita pun berubah dari yang ”biasa-biasa” saja menjadi ”agak tidak biasa”.

 

Sifat bunglon ini bisa muncul karena di dalam pikiran kita, sadar tidak sadar, kita memikirkan transaksi untung-rugi seperti orang berdagang. Apa untungnya kalau saya mau repot-repot bersikap baik kepada orang itu? Apa yang saya bisa dapat kalau saya berteman dengan dirinya?

 

Karena kita berpikir tidak ada yang bisa kita dapatkan dari si ”miskin”, buat apa toh kita bersikap baik? Seperti orang-orang yang menolak memberi pekerjaan Hillary, mereka telah melakukan kalkulasi dalam pikiran mereka: untung ruginya jika memberi pekerjaan kepada Hillary. Dan sayangnya, dari hitung-hitungan mereka, mereka tidak melihat akan mendapatkan untung dari membantu wanita setengah baya yang tampak bodoh dan tidak berkemampuan.  

 

Sifat bunglon ini bisa menjangkit siapa saja. Bahkan seorang pelayan rohani pun, kalau tidak hati-hati, bisa terjangkit sifat bunglon ini. Apabila umat yang dilayaninya ”kaya raya”, sikap dan tutur katanya pun menjadi penuh kasih mesra. Tapi giliran ada umat yang ”belum kaya harta, tapi kaya hati”, sikapnya jadi berubah 180 derajat. Pelayanan kepada si umat pun jadi ala kadarnya.

 

Saya terkesan dengan salah satu nas yang mengungkapkan suatu ”rahasia” dimana terkadang malaikat-malaikat suka menyamar menjadi orang-orang yang di mata manusia mungkin kecil, rendah dan tak berarti. Malaikat-malaikat ini seyogyanya hendak menguji derajat kasih seseorang apakah kasihnya tidak melihat rupa dan tulus.

 

Coba mulai hari ini, kita belajar berpikir bahwa setiap orang adalah malaikat-malaikat yang menyamar. Dengan memiliki pikiran seperti ini, niscaya kita tidak lagi akan berpikir ”untung-rugi” saat berinteraksi dengan sesama kita.

 

Kita akan melihat setiap orang dengan cara yang baru dan berbeda. Kita pasti akan berusaha memberikan yang terbaik: perkataan yang terbaik, perhatian yang terbaik, pemberian yang terbaik. Dan, pasti akan ada juga berkat terbaik yang bisa kita peroleh. So, ayo kita buka mata lebar-lebar mata rohani kita, siapa tahu saat ini ada ”malaikat-malaikat” di sekeliling kita!

 

 

 

 

 

 

 

 

When Bad Things Happened to Good People

Pagi ini, saat ingin pergi kerja seperti biasanya, kami mengalami kejadian yang tidak kami duga. Saat  baru seperempat perjalanan, tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras dari mobil yang kami naiki. Ketika mendengar suara itu, kami memutuskan untuk menepikan kendaraan untuk melihat apa yang terjadi. Kami menduga suara itu berasal dari ban belakang kanan mobil kami. Dan ternyata betul, ban belakang kanan kami sepertinya melindas benda tajam yang menyebabkan permukaan kulitnya terkoyak sangat dalam. Ban mobil kami kempes seketika.

 

Akhirnya pagi tadi, kami harus berolahraga pagi untuk mengganti ban mobil ini. Kami cukup menghabiskan banyak waktu untuk mengganti ban itu karena kami tidak membawa sambungan dongkrak di mobil kami. Kami harus menunggu cukup lama sampai ada mobil yang berbaik hati mau berhenti dan meminjamkan sambungan dongkraknya kepada kami.

 

Tapi ternyata dongkrak yang kami punya pun masih belum cukup untuk mengangkat mobil. Sampai akhirnya teman kami datang untuk membawakan dongkrak tambahan. Yang berkesan dari peristiwa pagi tadi adalah ucapan salah seorang teman yang mengatakan kadang peristiwa yang tidak enak seperti pagi ini mungkin bisa jadi dapat menghindarkan kita dari peristiwa yang lebih tidak mengenakan. Teman saya memberi contoh seperti pada waktu peristiwa 9/11, ada orang yang sehari-hari tidak pernah terlambat tiba di kantor. Tapi di hari itu, sepertinya ada hal-hal yang ’menghalanginya’ untuk ke kantor. Dan, ternyata hal-hal inilah yang kemudian menghindarkan dirinya dari kematian.

 

Saya jadi teringat dengan sebuah buku (yang entah pernah saya baca atau tidak. Saya tidak hapal buku mana saja yang pernah saya baca :p ) yang berjudul ”When Bad Things Happened to Good People”. Karena saya tidak ingat pernah baca buku ini atau tidak, maka saya juga tidak ingat akan isi buku ini. (Hahaha…:p)

 

Tapi kurang lebih dari judulnya, kita bisa tebak isi bukunya. Yup, sebagian besar dari kita mungkin pernah (dan sering) bertanya (atau tepatnya mempertanyakan) kenapa orang yang baik bisa saja mengalami suatu kesialan. Bukannya kita diajarkan kalau kita berbuat baik, tidak pernah menyakiti orang lain, dsb, kita akan memperoleh yang baik. Bukannya apa yang kita tabur, itu juga yang akan kita tuai. Tapi kenyataan kadang berkata lain. Kita banyak juga melihat orang lain atau diri kita mengalami sendiri pengalaman yang tidak mengenakkan. Padahal kita sudah rajin beribadah, berdoa, dsb.

 

Tidak sedikit orang yang kemudian menjadi kecewa dan bersungut-sungut kepada Tuhan karena hal ini. Yang awalnya rajin beribadah dan berdoa, akhirnya pelan-pelan mundur. Bahkan mungkin ada lagi yang lebih ekstrem sampai berani menyalahkan Tuhan, bahkan mengancam! (Jadi ingat film Doa yang Mengancam..Hahaha). Saya pikir saya pribadi pernah juga ada di posisi ini (tapi tidak sampai mengancam, takut kualat, paling ngeluh dalam hati…Hahaha). So, apa hal ini berarti Tuhan sudah tidak bersikap adil kepada kita? Apa Tuhan membohongi kita? (simpan dulu jawaban kita, kawan J ).

 

Kata orang hidup setiap kita ini bisa diibaratkan sebagai sebuah film. Kadang ada adegan sedih, lucu, marah, dsb. Film yang menarik (bagi saya) adalah film yang mengambil tema perjuangan orang-orang yang tadinya adalah ’nobody’ menjadi ’somebody’. Salah satu film favorit saya adalah Forrest Gump. Saya yakin banyak  dari kita yang sudah pernah menonton film ini. Film klasik yang dibintangi oleh Tom Hanks ini meceritakan perjuangan Forrest dan ibunya untuk dapat hidup ’normal’. Ceritanya sendiri cukup mengharukan. Dari film ini, kita bisa melihat bagaimana Forrest bertahan menghadapi segala ’cobaan’, ’hinaan’ yang menimpa dirinya. Dan akhirnya, kita tahu, Forrest pun dapat mencapai kesuksesan: menjadi pengusaha sukses, menikah dengan orang yang dicintainya, dsb.

 

Contoh lainnya, ada seorang pemuda yang bernama Yusuf. Yusuf sangat dikasihi oleh ayahnya. Namun, Yusuf dibenci oleh saudara-saudaranya. Mereka iri karena ayah mereka lebih mengasihi adik bungsu mereka. Sampai akhirnya suatu waktu Yusuf dibuang ke dalam sumur dan kemudian dijual menjadi budak di Mesir. Ini kesusahan pertama Yusuf.

 

Di Mesir, Yusuf bekerja pada seorang pembesar bernama Potifar. Yusuf bekerja dengan sangat baik, dan tuannya pun senang akan hasil kerjanya. Yusuf pun mendapatkan kepercayaan yang besar dari tuannya untuk mengelola rumah tangga. Yusuf mungkin berpikir kehidupannya telah menjadi lebih baik. Namun, ternyata tidak seperti itu. Karena menolak untuk godaan Tante Po, Yusuf akhirnya difitnah dan dipenjara. Kita semua setuju, apa yang dilakukan Yusuf dengan menolak godaan dari Tante Po adalah suatu hal yang benar. Tapi apa yang dia dapat? Masuk ke dalam penjara. Sampai di sini, banyak dari kita yang mungkin penasaran akan nasib pemuda ini.

 

Sekarang Yusuf telah berada di atas setting panggung penjara yang gelap. Yusuf melayani para tawanan lain dalam penjara dengan sangat baik. Kepala pengawal penjara pun menjadikannya sebagai orang kepercayaan. Di dalam penjara ini, Yusuf bertemu dengan juru roti dan juru anggur Firaun. Mereka dipenjara karena telah melakukan suatu kesalahan. Suatu malam, mereka berdua mimpi suatu hal yang tidak mereka mengerti. Mereka menceritakan mimpi mereka kepada Yusuf, dan ternyata Yusuf, dengan hikmat dari Tuhan, mampu untuk mengartikan kedua mimpi itu. Dan di kemudian hari terbukti, tafsiran mimpi Yusuf tepat. Yusuf sempat berpesan supaya dirinya diingat dan dibebaskan dari penjara karena dia tidak melakukan suatu kejahatan apapun. Yusuf berpikir kali ini dia akan mendapatkan suatu kelegaan. Tapi ternyata tidak. Yusuf dilupakan dalam penjara sampai bertahun-tahun kemudian.

 

Sampai suatu malam, Firaun bermimpi. Firaun memanggil semua ahli tafsir terbaik di Mesir, tapi tidak ada satu pun yang mampu untuk mengartikan mimpi tersebut. Baru pada waktu itu juru anggur yang diartikan mimpinya ingat kepada Yusuf. Juru anggur itu akhirnya merekomendasikan Yusuf kepada Firaun. Singkat cerita, Yusuf, dengan hikmat dari Tuhan, mampu untuk mengartikan mimpi Firaun. Seperti seorang konsultan bisnis yang hebat, Yusuf memberikan nasehatnya kepada Firaun. Firaun sangat terkesan dengan hikmat yang dimiliki oleh Yusuf dan Yusuf pun diangkat menjadi seorang pamong praja, seorang dengan kekuasaan nomor 2 selain Firaun! Bayangkan dari seorang budak, tawanan menjadi seorang penguasa di negara yang sangat berpengaruh waktu itu!

 

Dan, sebagian dari kita mungkin sudah tahu kelanjutan ceritanya, dimana pada waktu itu di seluruh negeri terjadi kelaparan dan hanya di Mesir saja ada makanan. Yusuf juga akhirnya reuni dengan keluarganya dan ada satu ucapan dari Yusuf terhadap saudara-saudaranya yang dulu telah mencelakakan dirinya, yang saya ingat dan berkesan, yaitu ”kalian telah mereka-rekakan perkara yang buruk untuk diriku, tapi Tuhan telah mereka-rekakannya menjadi kebaikan.” Tepat sekali ucapan Yusuf ini, coba pada waktu itu saudara-saudaranya tidak menjual dirinya, mungkin dia tidak akan menjadi penguasa di Mesir, dan lebih lagi cikal bakal bangsa Ibrani pun mungkin tidak akan pernah ada karena sudah punah karena kelaparan.

 

Di sini, kita bisa belajar satu hal yaitu seperti sebuah film, kita hanya mengerti adegan yang sudah lewat dan kita jalani, adegan-adegan ke depannya, tidak kita ketahui. Tapi, ada sang Sutradara di atas sana yang tahu ’big picture’ dari perjalanan hidup kita. Dan yang lebih melegakan lagi adalah Dia akan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang mengasihi diri-Nya. Yup, seperti kata peribahasa Jawa, Gusti Allah ora sare…(Tuhan tidak pernah tidur).

 

Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi penghiburan buat kita semua, khususnya buat mereka yang saat ini sedang berbeban berat dan bertanya-tanya dalam hatinya apakah Tuhan itu sungguh ada dan peduli.

 

Ditulis pada 16 November 2009, di SQ216, Tembagapura, Papua. Tembagapura masih hujan setiap hari tapi setelah hujan pasti ada pelangi di angkasa J

 

Usain Bolt, Ronaldinho, Susi Susanti

Usain Bolt, sprinter asal Jamaika, baru saja berhasil memecahkan rekor dunia atas namanya sendiri di Kejuaraan Dunia Atletik di Berlin. Dia berhasil menajamkan rekor yang dibuatnya saat Olimpiade Beijing untuk lari 100 meter, dari 9,69 detik menjadi 9,58 detik. Selain itu, Bolt juta sukses memecahkan rekor di nomor 200 meter.

“Why do Jamaicans run so fast?” adalah judul film dokumenter yang sedang dibuat untuk menyelediki kenapa pelari asal Jamaika begitu menonjol di olahraga ini. Padahal dibandingkan dengan negara lain yang lebih besar seperti AS, Jamaika hanyalah negara kecil.

Ternyata salah satu jawaban terbesarnya adalah kompetisi di sekolah. Banyak anak di Jamaika yang harus berjalan jauh untuk berlatih dan bertanding di kompetisi antarsekolah. Kondisi ini yang kemudian berkontribusi melahirkan sprinter dunia macam Bolt, Asafa Powell, Ben Johnson, dsb.

Ronaldinho Gaucho, seperti kebanyakan anak kecil di Brasil, mengejar mimpinya untuk menjadi pesepakbola profesional. Memang bagi masyarakat Brasil, sepola sudah mendarah daging di dalam kehidupan mereka. Selain itu, sepabola adalah alat untuk mendapatkankesuksean, alat untuk lepas dari jerat kemiskinan. Maka tidak heran kalau kebanyakan pesepakbola top dari Brasil ini berasal dari kalangan menengah bawah, kecuali Kaka yang berasal dari kalangan menengah atas.

Apa yang menyebabkan orang Brasil begitu piawai memainkan si bola bundar? Apa mereka dikaruniai gen jenius sebagai pesepakbola andal seperti sang legenda Pele? Atau mereka memilki anatomi tubuh yang spesifik? Atau karena merka biasa menari Samba sehingga membantu mereka ‘menari’ di lapangan?

Medali emas pertama Indonesia di Olimpiade didapatkan dari cabang bulu tangkis. Di Olimpiade Barcelona, Susi Susanti berhasil menumbangkan lawannya dari Korea, Bang Soo-Hyun di final. Dan dua jam kemudian, tunangannya Alan Budi Kusuma berhasil meraih medali emas di tunggal putra.

Perjuangan Susi untuk menjadi juara olimpiade, kita tahu bersama, tidaklah mudah. Susi telah mengorbankan sebagian besar hidupnya dengan berlatih, berlatih dan berlatih. Dan hal ini dilakukannya dengan penuh disiplin dan konsistensi sejak usia yang masih sangat muda.

Apa yang bisa kita petik dari 3 cerita di atas? Walaupun kita bukanlah seorang olahragawan, tapi ada nilai positif yang bisa kita ambil yang pastinya akan berguna di dalam kehidupan kita.

Dari cerita mengenai Bolt, kita belajar pentingnya kompetisi. Kompetisi yang sehat sesungguhnya sangat penting untuk mengasah diri kita. Kompetisi akan memacu diri kita untuk menjadi lebih baik. Salah satu alasan saya memilih kuliah di Teknik Industri UI adalah karena saya tahu di tempat ini ada banyak orang yang lebih pintar dari saya. Karena itu, saya selalu terpacu untuk menjadi lebih baik lagi.

Dari cerita Ronaldinho, kita bisa lihat kadang kesusahan itu bisa jadi motivasi terbaik untuk kita maju. Saya pernah lihat sebuah buku mengenai kewirausahaan yang berjudul “The Power of Kepepet”. Kadang justru kesusahan (baca:kepepet) itu bisa berdampak baik untuk kita. Di Business Week, diceritakan ada seorang wanita yang membuka usaha (dan usahanya sukses) setelah sebelumnya dirinya dipecat oleh perusahaannya (karena dampak krisis global).

Dari cerita Susi Susanti, kita bisa belajar kalau tidak ada yang namanya kesuksesan instan. Harus ada proses jatuh bangun sebelumnya. Harus ada ‘harga’ yang dibayar untuk kesuksesan itu. Sayangnya kita di hidup di masa dimana serba instan. Semua orang mau sukses tapi maunya instan, belum lagi tidak mau bayar ‘harga’. Kita, sebagai generasi milenia, dianggap tidak se-tough orang tua kita, kita ‘lembek’. Hal ini yang harus mulai kita ubah: belajar untuk lebih disiplin, konsisten (di Koran Sindo kemarin, kutipannya kalau tidak salah, ‘orang yang sukses adalah orang yang menyelesaikan apa yang dimulainya), kerja keras dan nilai-nilai lainnya yang sebenarnya sudah kita tahu, tapi belum dilakukan!

Stand Up, Speak Up

Kasus 1
VOC yang notabene adalah sebuah konglomerasi Belanda berhasil mengeruk keuntungan di Nusantara selama kurang lebih tiga setengah abad. Dari pelajaran Sejarah yang kita pelajari waktu sekolah, kita tahu kunci keberhasilan VOC sehingga mampu menancapkan kukunya begitu lama adalah politik adu domba atau dikenal juga dengan Devide et Impera. VOC berhasil memecah belah raja-raja di Nusantara sehingga tidak bersatu melawannya.

Kasus 2
Dalam sebuah poling yang dilakukan majalah remaja pria Hai beberapa waktu lalu, ditanyakan kepada responden yang adalah siswa SMA, apa kriteria yang mereka gunakan untuk memilih presiden? Hasilnya yang mengejutkan adalah mereka akan memilih presiden yang: keren (ini pemilihan presiden bos bukan idol..haha), memiliki pergaulan internasional yang luas (oke ini lebih mending dari yang pertama, tapi darimana bisa tahu? Dari jumlah friends di Facebook si capres?), dan alasan-alasan lainnya yang aneh bin ajaib seperti ikut-ikutan teman dan keluarga. Mungkin tidak sedikit dari kita yang seperti responden dalam poling tersebut pada waktu nyontreng pilpres kemarin. Pilih capres A karena gagah dan jago nyanyi serta bikin lagu (ini pasti pilhan ibu-ibu ^^), pilih capres B karena sama-sama dari kampung yang sama (dengan premis kalo capres ini terpilih, pasti kampungnya akan ikut makmur juga), atau pilih capres C karena katanya pembela wong cilik, dsb.

Kasus 3
Industri musik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak band-band atau penyanyi baru bermunculan, sebut saja yang cukup fenomenal yaitu almarhum Mbah Surip dengan lagu ”Tak Gendong” nya. Saya sendiri bingung dengan kesuksesan Mbah Surip ini. Dari segi lagu dan lain-lain biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Apa kesuksesannya dikarenakan strategi marketing yang jitu? Bisa jadi. Saya pikir tim marketing Mbah Surip mampu menciptakan buzz di masyarakat. Terlepas dari enak atau tidak lagunya, orang-orang jadi membicarakan keunikan Mbah Surip dan di sini peran media sangat kuat. Selain itu, saya melihat kesuksesan Mbah Surip juga dikarenakan karakteristik masyarakat kita yang mudah terpengaruh dengan pilihan orang banyak. Artinya, awalnya kita merasa lagu Mbah Surip tidak enak dan aneh, tapi karena banyak orang yang ‘suka’ dan sering membicarakannya, kita jadi ikut-ikutan ‘suka’.

Contoh lain adalah Kangen Band. Saya merasa lagu-lagu band ini cukup enak didengar tapi saya bingung kenapa banyak orang yang ‘menghujat’ band ini sebagai ‘band sampah’. Saya menduga sebenarnya banyak orang juga yang sebenarnya hanya ikut-ikutan tidak menyukai lagu-lagu band ini karena malu dianggap memiliki selera musik yang ‘rendah’.

Kasus 4
Seminggu terakhir ini, saya melihat banyak orang yang tiba-tiba menjadi ’heroik’ dengan ’menghujat’ negara tetangga yang dianggap sudah mencuri budaya bangsa kita. Mereka menunjukkan rasa nasionalisme mereka dengan memasang status ’perjuangan’ di Facebook atau Twitter.

Pertanyaannya adalah apakah orang-orang itu benar-benar peduli dengan budaya mereka sendiri? Apa mereka suka pakai batik (sebelum sepopuler sekarang)? Apa mereka menyempatkan diri untuk nonton tarian pendet saat liburan ke Bali? Atau Reog Ponorogo saat liburan ke Ponorogo? Tanpa bermaksud untuk menuduh mereka memasang status itu hanya biar ikutan eksis, saya pikir mereka semua cinta produk dan budaya Indonesia (hahahaha…LOL).

Kasus 5
Semua bule yang datang ke Jakarta dibuat terheran-heran waktu keliling kota ini, apalagi kalau diajak ke mall seperti Grand Indonesia atau Pacific Place. Mereka heran karena yang mereka tahu negara kita itu negara dengan banyak utang. Walaupun ’miskin’, ternyata kalau dalam urusan barang-barang mewah, orang kita tidak ketinggalan. Bahkan, kalau tidak salah, produsen smart phone dunia sengaja memilih Jakarta sebagai tempat launching pertama produknya di seluruh dunia. Luar biasa!!

Sekarang tidak aneh kalau kita lihat orang-orang yang menenteng blackberry atau iphone. Dan bisa ditebak, lebih kebanyakan pemilik gadget ini membeli bukan karena membutuhkan fungsinya tapi biar kelihatan trendi!! Dari sekian banyak fitur yang ada, yang dipakai cuman BBM atau Facebook…Hahaha…

Dari kelima kasus di atas, apa yang ingin saya coba bagikan? Dari kelima kasus di atas, kita dapat melihat salah satu karakteristik masyarakat kita (ini pendapat pribadi, bukan seorang antropolog…^^) yaitu mudah untuk dipengaruhi oleh opini publik.

Boleh setuju atau tidak dengan pendapat ini. Dalam salah satu wawancaranya, Sri Mulyani juga pernah mengungkapkan pendapat yang kurang lebih sama. Dia berpendapat masyarakat kita sebetulnya mudah dimotivasi (baca: dipengaruhi), mudah tersentuh, tapi kurang dapat bertahan (baca: persistence) dalam mengerjakan sesuatu.

Kenapa bisa begitu? Ada banyak sebab. Pertama, bisa jadi karena tidak mau terlihat berbeda dengan orang lain. Contohnya adalah kalau teman-teman kerja kita biasa pulang tenggo, kita juga ikutan karena takut dicap ’cari muka’. Saya gak tahu apa hal ini ada hubungannya dengan sistem demokrasi yang dianut bangsa ini dimana majority wins (jadi biar gak jadi pihak yang ’kalah’ mendingan ikut suara mayoritas).

Kedua, untuk menghindari konflik. Dalam rapat atau kesempatan diskusi baik di kampus maupun di tempat kerja, kita seringkali menjumpai banyak ’Yes Man’. Kalau ditanya pendapatnya, selalu bilangnya pendapat anda lebih baik, kita jalani pendapat anda. Beda dengan orang bule atau India, yang biasanya kekeuh sama pendapatnya (walaupun salah..haha).

Ketiga, sistem pendidikan kita tidak mengakomodasi para siswanya untuk berpikir kreatif (baca: beda). Kalau disuruh gambar pemandangan, harus ada dua gunung, sawah, lengkap dengan matahari dan burung! Haha…Kalau gambarnya beda, nilainya bisa dikorting. Akibatnya, biar aman, para siswa kita jadi malas berpikir dan takut salah. Dalam artikel di Harvard Business Review, dibahas mengenai kenapa orang yang tinggal di Iceland bisa memiliki nilai tertinggi dalam survei kebahagiaan? Padahal mereka tinggal di tempat yang mungkin hanya setengah tahun sekali siang (dapet cahaya matahari). Ternyata salah satu kuncinya adalah orang-orang Iceland ini tidak mengenal konsep ’salah’ atau ’tidak cukup bagus’. Akibatnya, mereka jadi berani berbuat sesuatu tanpa takut salah.

Keempat, masih berhubungan dengan sistem pendidikan kita, adalah kita tidak diajarkan untuk berpikir kritis. Jadi jangankan untuk berargumen dengan guru kita, untuk bertanya saja kita sudah malas. Sejarah membuktikan tidak mudah menjadi orang yang kritis. Contohnya Martin Luther King yang dengan berani mengkritik otoritas gereja Katolik. Dan kita semua tahu, tekanan seperti apa yang harus ditanggungnya.

Dari pembahasan di atas, apa sesungguhnya yang ingin coba saya sampaikan? Saya berpikir kita harus mulai mengembangkan sikap berpikir yang kritis dan juga rasional. Memang tidak mudah. Sementara mayoritas mengatakan A, kalau kita pikir itu salah dan bertentangan dengan hati nurani kita, kita harus mengatakan pendapat kita. Kita harus berani untuk bersikap (dan siap dengan resiko yang menyertainya). Soe Hok Gie pernah berkata, ”Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan.” Anda setuju?

You are what you wear

“You are what you wear”. Banyak dari kita yang pasti pernah mendengar ungkapan ini. Busana telah berevolusi dari fungsi dasarnya sebagai penutup tubuh. Busana pada saat ini telah jauh berkembang fungsinya.

Evolusi Busana
Busana sebagai salah satu penanda dari identitas seseorang. Dari busana yang dikenakannya, kita bisa menebak apa profesi atau status sosial seseorang. Contoh paling gampang adalah seragam. Dari seragam, kita bisa tahu apa orang itu bekerja sebagai petugas kebersihan taman kota, penjaga loket busway atau polisi.

Busana sebagai alat aktualisasi diri. Kemarin malam, di O Channel, ada dibahas soal salah satu komunitas pecinta Cosplay di Jakarta. Buat yang belum tahu, cosplay ini adalah istilah untuk kegiatan dimana orang-orang membuat dan memakai kostum tokoh anime kesayangannya. Tidak sedikit orang yang menganggap aneh orang-orang yang menggemari cosplay ini. Karena memang biasanya busana yang dipakai itu rada ”ajaib”. Tapi bagi pecinta cosplay, cosplay adalah sarana untuk merasakan (baca: aktualisasi) menjadi tokoh anime kesayangannya.

Busana sebagai alat penunjang dalam pekerjaan kita. Dalam salah satu seminar James Gwee yang saya ikuti minggu lalu, salah satu tips yang dibagikannya untuk dapat sukses di pekerjaan adalah masalah kita berbusana. Menurut dia, tidak bisa dibohongi kalau orang lain pasti pertama kali melihat tampak luar kita. Dia memberikan contoh bagaimana orang mau percaya untuk menginvestasikan uangnya kepada kita kalau dia melihat kita tidak mampu mengurus diri kita sendiri. Saya pikir poin James ini valid. Saya merasakan sendiri di pekerjaan saat ini sebagai seorang konsultan, kita diharuskan untuk berbusana sebaik mungkin karena hal itu penting dalam menunjang kredibilitas kita di mata klien.

Memang ada beberapa profesi tertentu yang menekankan lebih pentingnya penampilan, biasanya pekerjaan yang banyak berinteraksi dengan orang seperti pekerja di bidang PR, artis, presenter, dsb. Walaupun pekerjaan kita tidak memiliki intensitas yang tinggi untuk berinteraksi dengan orang banyak, tetap saja kita perlu memperhatikan apa yang kita kenakan.

Selamat Tinggal Marlboro Man
Yang menarik diperhatikan, dalam beberapa tahun terakhir ini, telah terjadi pergeseran gaya berbusana pria perkotaan. Sekarang sudah bukan eranya lagi ”Marlboro Man”, sekarang adalah eranya cowok-cowok cantik ala ”BBF” (no offense girls!! Hahaha…LOL). ”Marlboro Man” mewakili image cowok macho, agak urakan dan liar sudah tidak digemari oleh para wanita (dan pria!!). Sebaliknya ”BBF Boy” mewakili image cowok pesolek dengan muka mulus tanpa jerawat sedikit pun, rambut selalu tertata rapi walaupun ditiup kipas angin sekalipun..Hahaha. Dan sekarang sepertinya banyak pria yang mengejar image ”BBF Boy” ini (except me…wakakaka…)

Di majalah Esquire edisi September (I bought this magazine to keep me updated with the latest man-related info, not the fashion info actually…hahaha), ada dibahas mengenai apa itu definisi pria yang fashionable yaitu:
Berbusana gaya terbaru yang sedang populer di masa ini walaupun biasanya bukan barang baru karena pernah populer di masa lampau (Ow okay, gaya berbusana saya tidak banyak berubah sejak SMP dulu…Hm, jadi rasanya gak memenuhi kriteria pertama)
Fashion items-nya tidak hanya celana panjang, kemeja, jaket, celana pendek, T-shirt dan setelan jas, masih ada yang namanya vest, scarf, suspender, dan lain-lain. (Scarf? Suspender? Wakakaka)
Berani mengenakan apa yang dulunya hanya dikenakan wanita: warna cerah, motif floral, bordir, potongan asimetris (Warna cerah dihindari secara kulit saya item, motif floral? Bordir? Ini bukannya kebaya yak???)
Yak, bisa ditebak, berdasarkan definisi di atas, saya bukan orang yang fashionable..(kecewa bercampur lega…LOL..hahaha).

Well, sekalipun saya bukan seorang fashionista, tapi menurut saya, gaya busana yang asik itu yang:
Following the rules. Artinya apa yang kita pake itu bisa sesuai dengan situasi dan kondisi. Kalau kantor tempat kita kerja mengharuskan kita tampil profesional dengan kemeja lengan panjang dan celana bahan, ya ikutin aja. Kalau diundang ke acara yang dress code-nya casual, ya jangan pake gaun pesta (buat yang cewe) atau batik (buat yang cowo)…hahaha…
Gak harus selalu ikutin mode. Obama pernah dikritik karena jeans biru lusuhnya yang dianggap sebagai ”mom jeans”. Terus apa kata Obama: ”Saya benci belanja. Jeans ini nyaman saya pakai. Kalau anda ingin presiden anda kelihatan keren dengan jeans ketat, maaf. Itu bukan saya. Tidak cocok dengan saya.” (Dikutip dari Esquire). Jadi, bisa kira-kira sendirilah mode mana yang cocok dan gak cocok buat kita.
Gak harus pake barang branded. Kadang orang lain sebenernya gak terlalu peduli dengan merek baju yang kita pakai. Sepanjang it looks good on us, sudah oke. Saya sendiri kalau beli baju yang bermerek bukan karena alasan ”gengsi” atau supaya terlihat lebih gaya. Tapi lebih karena barang bermerk bagus punya kualitas barang yang lebih bagus juga, nyaman, gak cepat rusak dan modelnya oke untuk dipakai dalam waktu lama.

Do not judge the book by its cover

Gandhi pernah “diledek” oleh Winston Churchill sebagai ”pengemis telanjang” karena gaya busananya yang sangat sederhana. Sehari-harinya, Gandhi biasa hanya mengenakan kain tradisional sebagai ”seragamnya”. Sangat-sangat sederhana. Walaupun begitu, kita tahu kalau Gandhi adalah tokoh yang besar. Bahkan bagi orang India, Gandhi diberi nama Mohandas yang artinya orang suci.

Kita sering mendengar ungkapan ”Don’t judge the book by its cover”. Jangan sampai kita terlalu cepat menilai orang lain hanya dari penampilan luarnya saja. Bukankah kita sering dengar berita kejahatan yang dilakukan oleh para ‘penjahat berdasi”. Dari luar tampaknya sopan dan bisa dipercaya, ternyata adalah seorang penipu. Atau orang yang belagak kaya, tapi sesungguhnya tidak punya apa-apa. Semua barang yang dipunya hanya pinjaman saja.

Suatu hari, ada sepasang suami istri yang memiliki anak yang menjadi mahasiswa Harvard hendak menemui rektor Harvard. Karena penampilan suami istri ini sangat-sangat sederhana, bahkan terkesan lusuh, rektor ini tidak mau menemui mereka. Bagi rektor itu, waktunya sangat berharga, tidak layak dihabiskan untuk menemui mereka. Rektor itu meminta sekretarisnya untuk memberi tahu suami istri ini kalau dia sangat sibuk dan tidak dapat menemui mereka. Namun demikian, suami istri ini tetap menunggu. Karena tidak pulang-pulang juga, akhirnya rektor ini bersedia menemui suami istri ini.

“Apa yang bisa saya bantu,” tanya si rektor. ”Kami memiliki anak yang bersekolah di Harvard ini…” kata sang suami. Sang rektor setengah tidak percaya mendengarkan perkataan bapak ini. Yang ada di dalam pikirannya adalah bagaimana mungkin orang miskin seperti kamu mampu menyekolahkan anak di Harvard.

“Dan anak kami sangat bangga bisa menjadi bagian universitas ini,” lanjut si ibu. “Lalu apa yang kalian inginkan?” si Rektor mulai tidak sabar. “Putera kami baru saja meninggal dunia dan kami ingin membuat sesuatu untuk mengenang anak kami di Harvard.”

“Hah, kalian pikir Harvard itu tempat apa? Kalau setiap orang yang meninggal dibuatkan tugu peringatannya, Harvard akan jadi seperti kuburan!”

”Kami tidak bermaksud untuk membuat tugu peringatan Pak. Kami ingin menyumbangkan uang untuk pembangunan gedung untuk mengenang anak kami”

”Gedung?! Apa kalian tidak tahu berapa juta dollar yang dibutuhkan untuk membangun gedung di Harvard. Kalian hanya melantur saja dari tadi. Maaf, saya saat ini sibuk sekali.”

Akhirnya suami istri itu pergi dari ruangan rektor itu. Beberapa tahun kemudian, berdirilah universitas baru di Amerika yang sampai sekarang masih termasuk dalam Ivy League. Universitas itu adalah Stanford University dan suami istri itu sesungguhnya adalah keluarga Stanford yang kaya raya.

Moral of the story: Do not judge the book by its cover!

So, kesimpulan dari tulisan ini: gak ada salahnya dengan kita “mendandani” diri kita dengan memakai busana yang bagus, cuman jangan hanya puas sampai situ saja. Selain apa yang tampak, kita juga harus ”mendandani” apa yang ada di dalam: karakter kita, pengetahuan kita, keterampilan kita. Bukankah apa yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tidak kelihatan bernilai kekal?

Juggling Elephants

Saya baru saja selesai membaca buku yang saya pinjam dari perpustakaan Tembagapura. Buku tersebut berjudul “Juggling Elephants” (sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul The Success Story of Life). Tema buku ini, menurut saya, cukup menarik (walaupun tema sejenis sudah banyak dibahas di buku-buku lain). Oleh karena itu, dalam tulisan ini, saya mencoba untuk men-summary-kan isi buku ini.

Buku ini membahas kiat-kiat bagaimana meraih sukses dalam pekerjaan, keluarga dan persahabatan. Tema ini sengaja diangkat oleh pengarang buku ini, Jones Loflin (penulis pendamping Who Moved My Cheese) dan Todd Musig, mengingat banyak orang yang merasa frustasi dengan hidupnya. Banyak orang yang tidak dapat menemukan kepuasan dalam hidupnya sekalipun orang tersebut memiliki pencapaian yang tinggi di dalam karirnya. Pada intinya, buku ini mencoba memberikan tips kepada pembacanya untuk menyeimbangkan tiga aspek dalam hidupnya (yang diilustrasikan sebagai arena-arena sirkus) yaitu pekerjaan, keluarga dan persahabatan.

“Juggling Elephants” atau “Melempar gajah ke udara” adalah metafor yang digunakan untuk memberikan gambaran akan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Menurut pengarang, banyak orang yang berusaha terlalu keras mencoba untuk melakukan terlalu banyak hal yang sesungguhnya sudah di luar batas kemampuan mereka. Contohnya, terlalu sibuk mengejar karir, bahkan di hari libur tetap bekerja, hingga tidak ada waktu lagi dengan keluarga mereka.

Yang menarik dari buku ini adalah gaya bercerita yang ditampilkan dalam bentuk dialog antartokoh dimana tokoh utama dalam buku ini yang bernama Mark (tokoh yang merasa tidak puas dengan ketiga arena sirkus kehidupannya) belajar dari pawang sirkus bernama Victor dan Dominic mengenai filosofi kehidupan yang dianalogikan sebagai sebuah sirkus.

Secara singkat, di bawah ini adalah beberapa poin yang bisa dipelajari dari buku yang pernah diterbitkan juga dengan judul “Hidupmu adalah Sirkusmu”: 

  • Diri kita dapat dianalogikan sebagai seorang pemandu sirkus yaitu orang yang bertanggung jawab dan memegang kendali penuh atas pencapaian kesuksesan sebuah pertunjukan sirkus.
  • Seorang pemandu sirkus tidak mungkin berada di dalam ketiga arena atau di tengah kelompok pemain sirkus yang berbeda, pada waktu bersamaan. Ketiga arena yang dimaksud mewakili kehidupan pekerjaan, keluarga dan persahabatan kita. Artinya, kita harus fokus pada “arena” dimana kita berada pada saat itu, namun sesekali, kita perlu pindah ke arena yang lain, secepat mungkin. Misalnya adalah pada saat kita sedang bersama keluarga kita, jangan pikirkan pekerjaan kantor anda. Untuk mendapatkan hubungan atau hasil yang berkualitas, anda perlu meletakkan fokus anda pada apa yang anda kerjakan pada saat itu.
  • Kunci keberhasilan suatu  pertunjukan sirkus adalah menggabungkan setiap kelompok atraksi sirkus sehingga babak demi babak dapat berjalan secara berkesinambungan.
  • Kita harus dapat memutuskan, pada saat manakah kita harus memasuki suatu arena sirkus dengan tepat.
  • Setiap aksi harus memiliki sasaran yang pasti.
  • Hubungan antara pemandu sirkus dan pelaku atraksi akan memengaruhi kesuksesan pertunjukan sirkus.
  • Setiap anggota tim adalah penting dan harus dikoordinasikan berdasarkan aksinya masing-masing secara tepat agar tim dapat meraih kesuksesan dalam kebersamaannya.
  • Pentingnya untuk menawarkan secara terus menerus suatu imbalan yang positif untuk prestasi kerja yang baik dari pemain sirkus. Sebaliknya, teguran harus diberikan kepada mereka yang membangkang. Berikan masukan yang membangun untuk pemain yang berperilaku negatif dan memiliki kinerja yang buruk tersebut.
  • Setiap orang memiliki harapan yang terselubung untuk dapat diwujudkannya. Namun, seringkali terhalangi oleh beban pekerjaannya sehari-hari.
  • Sesekali manusia perlu untuk tertawa, rileks dan keluar dari beban rutinitasnya.
  • ”Intermission” merupakan salah satu bagian penting dalam menciptakan suasana pertunjukan sirkus yang lebih baik.
  • Apa yang telah kau lakukan untuk meningkatkan kualitas masing-masing kelompok arena dari program sirkus kehidupanmu?
  • Pertunjukan sirkusmu selanjutnya, harus lebih baik daripada pertunjukan sirkus yang dilakukan pada hari ini.

K.I.S.S

Majalah Fortune terbaru dengan judul cover “The Best Advice I Ever Got” membahas nasehat-nasehat terbaik dari orang-orang terkenal di bidangnya. Dari pebisnis seperti pemilik Microsoft, Bill Gates sampai olahragawan dunia seperti Tiger Wood memberikan nasehatnya. Saya tertarik dengan nasehat yang diberikan oleh Tiger Wood. Dalam majalah ini, dia menasehatkan untuk membuat segala sesuatu tetap simple.

Dalam artikel tersebut, Tiger Wood menceritakan pada waktu dirinya berusia 6 atau 7 tahun, dia mulai berlatih golf bersama ayahnya. Pada saat berlatih, ayahnya biasa bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu akan memukul bola ini?” Lalu, Wood akan memilih suatu spot dan berkata, “Saya akan memukul dari sini.” Sang ayah akan berkata, “Baik kalau begitu, lakukan!” Sang ayah tidak berusaha untuk membetulkan posisi tangan, memberitahukan cara berdiri, dsb. Sang ayah mengerti dalam usia yang masih muda, Wood tidak akan mengerti juga apabila diberitahu bagaimana harus memukul menurut teori golf yang ada. Ayahnya membuat permainan tetap sederhana dengan membebaskan Wood menemukan bentuk pukulannya.

Kebiasaan ini juga terkadang terbawa sampai sekarang. Pada saat bertanding di suatu turnamen, Wood tidak lagi memusingkan posisi tangannya, cara berdiri, dsb (Btw, ternyata golf tidak semudah yang saya bayangkan. Pada waktu pertama kali mencoba, ternyata banyak hal yang harus diperhatikan: tangan kiri yang jadi poros harus tetap lurus, poros badan tidak boleh bergeser. Wah, ribet juga ternyata..haha. Tapi, seharusnya, saya ikuti nasehat Wood: pukul saja!). Yang difokuskan dalam pikirannya hanyalah untuk memasukkan bola. Yang lucu adalah para komentator yang biasanya sibuk untuk membuat teori mengenai pukulan yang dibuat Wood. Padahal, mungkin Wood hanya mengikuti instingnya dalam memukul bola.

Di departemen Teknik Industri Universitas Indonesia, tempat saya berkuliah dulu, di dinding-dindingnya dipasang kutipan-kutipan dari orang-orang terkenal. Salah satu yang saya masih ingat sampai sekarang adalah kutipan dari Leonardo da Vinci yaitu ”Simplicity is ultimate sophistication.” Saya jadi berpikir kenapa kutipan ini dipasang. Setelah dipikir-pikir, saya rasa saya temukan jawabannya. Kita, disadari maupun tidak disadari, seringkali membuat sesuatu hal menjadi lebih rumit dari yang sebenarnya. Contohnya, kalau kita baca jurnal ilmiah atau mendengar ceramah profesor-profesor, dijamin tidak banyak dari kita yang bisa mengerti isinya. Banyak istilah asing dan njelimet yang ajaib.

Saya jadi ingat dengan ucapan dari Hermawan Kartajaya (HK), atasan dan salah satu role model saya sewaktu masih bekerja di MarkPlus. Dalam seminar, HK sering bilang kalau dirinya tuh different dengan profesor-profesor marketing lainnya. Katanya, kalau profesor biasanya membuat sesuatu yang simple jadi ribet (supaya kelihatan lebih intelektual), dirinya melakukan sebaliknya yaitu membuat sesuatu yang rumit jadi simple. Itu juga alasannya kenapa HK selalu menampilka teorinya dalam bentuk model, supaya orang yang awam marketing sekalipun bisa mengerti.

Tidak cuman HK, Einstein pun menekankan pentingnya kesederhanaan. Einstein pernah bilang, “Everything should be made as simple as possible, but no simpler.” Makanya teori relativitas Einstein ditulis dengan simple banget (dan saya yakin banyak orang lebih ingat rumus ini daripada rumus Gaya Gerak Listrik…hahaha) yaitu E=MC2.

Di dunia bisnis, kesederhanaan juga ternyata makin penting. Contohnya, sekarang ada peraturan baru dimana surat perjanjian seperti permohonan kartu kredit atau asuransi harus dibuat se-simple mungkin. Kalau dulu, surat perjanjian semacam ini bisa sampai berlembar-lembar, sekarang dibuat maksimal hanya 2-3 lembar. Tujuannya jelas untuk menghindari kebingungan konsumen. Contoh lainnya adalah Iphone. Menurut saya, salah satu letak kekuatan produk-produk keluaran Apple adalah dari desainnya yang simple, minimalis tapi tetap elegan.

Alkisah, pada waktu era perang bintang (bukan Star Wars tapi yak…Haha), AS dan Uni Soviet (Rusia) bersaing ketat untuk menjadi yang terbaik dalam teknologi antariksa. Ternyata, mereka sama-sama menemukan masalah dimana para astronot dan kosmonot mereka tidak dapat menulis dengan pena di pesawat luar angkasa karena tidak adanya gaya gravitasi. Para ilmuwan AS mengeluarkan berjuta-juta dollar sampai akhirnya berhasil menemukan tinta khusus yang bisa digunakan di luar angkasa. Lalu bagaimana dengan ilmuwan Uni Soviet? Ternyata, mereka punya solusi yang sederhana yaitu pakai pensil! So, apa yang bisa kita pelajari dari cerita ini? Hm, hanya satu: Keep It Simple Stupid!