Tan Malaka

Tan Malaka. Tidak banyak orang yang mengenal namanya. Tidak mengherankan karena sudah berpuluh tahun, namanya dihapus dari buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah. Jangan-jangan banyak guru pelajaran sejarah di sekolah yang juga tidak pernah mendengar tentang Tan Malaka. Ironis. Mengingat apa yang telah dikontribusikan Tan Malaka bagi republik ini.

Sejatinya, kisah heroik Tan Malaka tidak kalah dari kisah hidup tokoh geriliawan revolusioner dunia lainnya macam Che Guevera, Fidel Castro atau Sun Yat Sen. Perjalanan hidup Tan Malaka diwarnai dengan berbagai pertualangan yang (ada yang menyebutnya) lebih dahsyat dari fiksi!

Sepanjang hidupnya, Tan Malaka sudah bertualang ke 11 negara, menjalani 89 ribu kilometer (yang setara dengan dua kali keliling bumi). Menguasai 8 bahasa di antaranya bahasa Belanda, Rusia dan Mandarin. Memiliki 23 nama samaran. 13 kali masuk penjara di Jawa, Filipina dan Hongkong. Pernah menjalani 5 pekerjaan sebagai guru, penulis lepas, kerani, mandor sampai tukang jahit.

Siapa sebenarnya Tan Malaka? Apa kontribusinya bagi Nagari?

Tan Malaka adalah orang pertama yang menulis tentang konsep Republik Indonesia. Tan Malaka menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) dan Massa Actie (Aksi Massa) pada tahun 1925 dan 1926, jauh lebih dulu dari Mohammad Hatta menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) atau Seokarno yang menulis Menuju Indonesia Merdeka.

Kedua buku Tan Malaka ini, bisa dibilang, telah menjadi sumber inspirasi bagi tokoh-tokoh pergerakan waktu itu yang membawa kedua buku itu dalam saku mereka. W.R. Supratman sampai memasukkan kalimat “Indonesia tumpah darahku” dari buku Massa Actie ke dalam lagu ciptaannya, Indonesia Raya.

Tan Malaka adalah calon penerus pemimpin perjuangan. Soekarno pernah membuat sebuah testamen politik yang isinya menyatakan kalau Soekarno dan Hatta tidak sanggup menjalankan pemerintahan lagi, pimpinan perjuangan akan diteruskan oleh Tan Malaka.

Belakangan, Hatta yang berseberangan ideologis dengan Tan Malaka (yang berhaluan komunis), meminta supaya jangan hanya Tan Malaka saja yang diberikan wewenang ini sehingga akhirnya selain Tan Malaka, ada juga nama Iwa Koesoema, Sjahrir dan Wongsonegoro demi mewakili kepentingan semua kelompok.

Tan Malaka adalah seorang revolusioner yang tidak mengenal kata kompromi. Tan Malaka menolak segala bentuk kompromi dengan penjajah. Tan Malaka menghendaki kemerdekaan sepenuhnya, kemerdekaan 100 persen. Prinsip ini yang membuatnya kemudian dekat dengan Jendral Soedirman yang berprinsip “lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.”

Sebaliknya, prinsip ini juga yang membuat Tan Malaka kemudian akhirnya kecewa dengan Soekarno-Hatta yang dianggapnya masih banyak berkolaborasi dengan bangsa penjajah. Dalam satu kesempatan, Tan Malaka pernah mendebat Soekarno yang berpendapat bahwa Indonesia harus menghormati jasa Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan Malaka berpendapat lain. Baginya kemerdekaan Indonesia harus ditentukan oleh bangsa Indonesia sendiri.

Tan Malaka adalah seorang cendekiawan ulung. Tan Malaka menyumbangkan karya pemikirannya yang orisinal melalui buku yang ditulis selama masa persembunyiannya dari Kempetai, polisi rahasia Jepang. Buku itu berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika).

Melalui Madilog, Tan Malaka  mencoba memperkenalkan cara berpikir yang realistis dan sistematis, bukan dogmatis, dengan tujuan untuk menghilangkan cara berpikir takhayul, nilai-nilai feodalisme dan mental budak yang masih diidap oleh bangsa Indonesia waktu itu.

Tan Malaka juga adalah bukan seorang penggila kekuasaan. Tebukti, Tan Malaka pernah dua kali menolak kesempatan emas untuk tampil di panggung politik. Yang pertama saat Tan Malaka menolak tawaran Soekarno menduduki suatu jabatan tidak resmi di luar kabinet. Kedua, Sjahrir menawarinya menduduki posisi ketua Partai Sosialis. Kedua jabatan ini ditolak karena keengganannya untuk berkompromi dengan idealismenya.

Banyak lagi sebenarnya yang hal yang bisa ditulis tentang Tan Malaka. Tan Malaka telah mewariskan banyak pemikiran brilian yang masih relevan untuk menjawab tantangan masa kini.

Tembagapura, 21 Oktober 2010.